androidvodic.com

Pilihan Rakyat, Sengketa Pemilu dan Wacana Hak Angket - News

Oleh Dr. Sulaiman N. Sembiring

Doktor Hukum Tata Negara/Praktisi Hukum

News - Pemungutan suara Pemilu 2024 telah usai, walaupun masih ada beberapa pemungutan suara lanjutan yang disebabkan antara lain karena bencana alam seperti banjir dan pelaksanaan pemungutan suara ulang atas rekomendasi Panwascam (Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan) yang dilakukan di sejumlah tempat karena dianggap ditemukan pelanggaran aturan dalam proses pelaksanaan pemilu.

Khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya masih terus bekerja keras untuk sampai pada perhitungan akhir dan menetapkan serta mengumumkan siapa yang akan muncul sebagai Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Pilihan Rakyat untuk masa jabatan 2024-2029, selain tentunya yang akan duduk di Senayan sebagai Anggota DPR dan DPD RI serta anggota legislatif yang akan duduk di DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia sesuai kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Pasal 13 Huruf (d) dan huruf (e) UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang intinya memuat kewenangan KPU untuk menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara secara nasional serta menerbitkan Keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan mengumumkannya ke publik.

Di antara penantian masyarakat mengenai siapa Capres-Cawapres terpilih yang akan ditetapkan sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden, berbagai media cetak dan elektronik tiba-tiba memberitakan bahwa Ganjar Pranowo, Capres No. Urut 03 mengusulkan agar DPR RI menggunakan hak angket untuk mempersoalkan pelaksanaan Pemilu 2024 karena dianggap memuat banyak kecurangan.

Pertanyaannya kemudian, apakah benar semata dikarenakan dugaan bahwa dalam Pemilu 2024 telah terjadi kecurangan yang sistematis sehingga perlu dijalankannya hak angket di DPR, ataukah lebih sebagai ekspresi ketidakpuasan karena rakyat tidak memilihnya untuk duduk di kursi Presiden yang akan datang? Apa sebenarnya yang dimaksud hak angket dan apakah hak angket tersebut merupakan instrumen hukum yang benar untuk mempersoalkan masalah proses dan hasil pemilu?

Cukup banyak pakar hukum tata negara yang tidak setuju atas penggunaan hak angket tersebut seperti Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Prof. Dr. Andi M. Asrun, Margarito Kamis dan bahkan Mahfud MD sekalipun mengatakan bahwa hak angket itu tidak ada gunanya bagi Paslon, dikarenakan itu lebih sebagai Langkah politik partai-partai yang ada di Parlemen. 

Selain untuk ikut menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini merupakan bentuk keprihatinan penulis atas sikap sejumlah elit politik dan bahkan yang menganggap dirinya ahli hukum yang secara diam-diam maupun terang-terangan bersikap dua muka dalam pelaksanaan pemilu Indonesia 2024: Di satu sisi, menyatakan mengerti dan siap untuk mengikuti kontestasi pemilihan presiden dengan berlandaskan dan tunduk pada seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku, siap menang dan siap kalah.

Di sisi lain, ketika tanda-tanda kekalahan itu muncul maka berbagai isu seperti hak angketpun dimunculkan, termasuk adanya release film yang diklaim pembuatnya sebagai documenter berjudul Dirty Vote (11/02/2024), yang apabila kita tonton secara utuh sangat tidak layak disebut sebagai documenter karena tidak menjelaskan fakta-fakta sebenarnya, dan hanya berupa potongan-potongan “puzzle” berupa gambar dengan narasi yang sangat tidak berhubungan dan kemudian menyimpulkan adanya skenario-skenario jahat dalam Pemilu 2024. (Sembiring, Detik.com, 13 Februari 2024).

Pilihan Rakyat

Versi hitungan cepat (Quick Count) semua Lembaga survey menempatkan Paslon 02 Prabowo-Gibran sebagai Capres/Cawapres terpilih dengan perolehan suara sekitar 57-58 persen disusul oleh Anis-Muhaimin dengan perolehan suara 24-25% dan Ganjar-Mahfud di angka 16%. Sampai dengan tulisan ini dibuat, perolehan suara versi Quick Count tersebut ternyata lebih kurang sama dengan hitungan nyata (real count) KPU, Dimana Prabowo-Gibran memperoleh suara 58,83%, Anis-Muhaimin memperoleh 24,37% dan Ganjar-Mahfud di angka 16,18%.

Gambaran perolehan suara di atas menjelaskan pilihan rakyat atas siapa yang mereka inginkan sebagai Capres-Cawapres atau Pemimpin mereka untuk masa bakti 2024-2029, yang mana seharusnya dihormati dan tidak diciderai dengan memunculkan wacana hak angket tersebut.

Mungkin ada pihak-pihak yang menganggap bahwa masyarakat yang selama ini lebih banyak diam dapat diarahkan dan diprovokasi melalui berbagai manuver dan penyebarluasan isu-isu yang mengarah kepada penjatuhan kredibilitas berupa fitnah, pelecehan  dan bentuk-bentuk bullying lainnya serta agar tidak memilih Paslon Capres-Cawapres tertentu, yang terasa begitu memuncak menjelang hari-hari pemungutan suara.

Faktanya, cara-cara murahan dan tidak bermartabat tersebut gagal dan rakyat telah memilih pemimpin yang mereka inginkan  sebagaimana tergambar dari Quick Count Lembaga Survey dan Real Count KPU. Namun demikian, terkait dengan hasil akhir siapa yang benar-benar dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Presiden dalam Pemilu 2024, tentu kita harus menghormati dan menunggu pengumuman resmi KPU selaku penyelenggara sah Pemilu.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat