androidvodic.com

RPP Zat Adiktif tentang Pertembakauan, AMTI: Harus Inklusif Melibatkan Seluruh Elemen Terdampak - News

News - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyayangkan sikap pemerintah yang hanya memandang eksosistem pertembakauan sebagai elemen parsial dalam proses penyusunan kebijakan.

Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono meminta pengaturan ekosistem pertembakauan ini dibicarakan secara seksama sehingga dapat melahirkan regulasi yang adil, berimbang.

Hal itu disampaikan Hananto dalam sesi Public Hearing Penyusunan RPP Kesehatan tentang Zat Adiktif, pada hari ini, Rabu (20/9/2023).

Seperti diketahui, Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi mandat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Salah satu bagian RPP yang sedang disusun adalah pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana mandat Pasal 152 UU 17/2023 tentang Kesehatan.

AMTI menilai pengaturan tentang produk tembakau sebagaimana dalam draf RPP cenderung restriktif terhadap berbagai aktivitas elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.

Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pasal pelarangan, bukan pengendalian, seperti di pasal 435 hingga pasal 460 tentang Pengamanan Zat Adiktif di RPP Kesehatan.

"Kami menghargai niat baik pemerintah dalam menyusun regulasi ini, namun juga harus dilandaskan itikad baik. Bolehlah kiranya melihat dan mempertimbangkan berbagai aspek. Bahwa dalam amanah UU Kesehatan itu sendiri pertembakauan harus diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri bukan dalam satu RPP yang menggabungkan semua hal," ujar Hananto Wibisono, Sekretaris Jenderal AMTI.

Baca juga: Konsumen Minta Kemenkes Lebih Adil dalam Melibatkan Stakeholder soal Aturan Turunan UU Kesehatan

Ia menambahkan, dampak dari pelarangan dalam RPP ini sangat luas.

"Ada banyak sekali elemen dan jutaan orang yang bergantung penghidupannya pada ekosistem pertembakauan. Usulan AMTI, marilah kita membicarakan pengaturan ekosistem pertembakauan secara seksama sehingga dapat melahirkan regulasi yang adil, berimbang, dan tidak menegasi satu pihak," sebut Hananto.

Merunut pada proses penyusunan regulasi pertembakauan sejak akhir tahun lalu, mulai dari masifnya dorongan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan hingga riuhnya polemik penyusunan RUU Kesehatan, Hananto berharap pemerintah dapat melihat bahwa ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, khususnya kesejahteraan orang banyak yang terlibat mata rantai industri hasil tembaku.

Sekjen AMTI memberikan masukan dalam Public Hearing RPP Turunan UU Kesehatan secara daring, Rabu, 20 September 2023
Sekjen AMTI memberikan masukan dalam Public Hearing RPP Turunan UU Kesehatan secara daring, Rabu, 20 September 2023 (Istimewa)

Pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Ali Rido yang turut memberi masukan terkait Pengamanan Zat Adiktif merekomendasikan kepada Kementerian Kesehatan untuk tidak hanya fokus pada bahasan substantif RPP Kesehatan, namun juga harus menaruh perhatian pada teknis peraturan perundang-undangan itu sendiri.

"Patut diingat bahwa wujud peraturan yang baik dan benar itu ketika secara teknis formalnya dapat diimplementasikan secara baik. Harapannya RPP Kesehatan ini juga jelas dan tegas dalam konteks pengaturannya," kata Ali Rido.

Baca juga: Asosiasi Petani Soroti Aturan Turunan UU Kesehatan, Ingatkan Kontribusi Industri Tembakau ke Negara

Rido menjelaskan, sesuai dengan narasi diksi yang disebutkan dalam pasal 152 UU Kesehatan Nomor 17 tahun 2023 bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Pengamanan Zat Adiktif, berupa produk tembakau dan rokok elektronik, diatur dengan Peraturan Pemerintah.

"Materi muatannya berbeda maka pengaturan tentang zat adiktif harus dibuat satu peraturan mandiri. Jika dilihat dalam RPP saat ini, ketika zat adiktif dimasukkan dalam satu RPP, berarti menghindari putusan MK yang sudah menegaskan soal penyelarasan narasi diksi," tegas Ali Ridho.

Ia juga mempertanyakan terkait ketentuan sanksi denda administratif dalam pasal 443 yang menyebutkan denda administratif sebesar Rp.500.000.000.

Menurutnya, pernyataan sanksi ini perlu direfleksikan kembali, sebab kontradiktif dengan yang diamanatkan dalam UU Kesehatan.

Begitu juga dengan pemberian sanksi terkait Pasal 439 berupa larangan bagi setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau kurang dari 20 (dua puluh) batang dalam setiap kemasan akan dikenakan sanksi administratif dan penarikan produk.

"Ada cacat logika di pasal ini sehingga harus ditelaah lagi. Kata dan merujuk bahwa sanksi yang diberikan bersamaan, serta merta. Sulit untuk memahami logika pengenaan sanksi seperti ini. Harus menjadi pertimbangan lagi," tutupnya. (*)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat