androidvodic.com

Pakar Hukum: Data Tak Akurat Buat Kebijakan Tidak Tepat Sasaran - News

Laporan wartawan News, Fahdi Fahlevi

News, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie mengatakan urgensi sinkronisasi data sangat tinggi.

Data, menurut Ahmad, adalah basis perumusan suatu kebijakan sehingga perlu dipastikan validitas dan akurasinya.

Menurut Ahmad, data yang valid dan berkualitas akan menjadi navigator arah kebijakan dan program pemerintah.

“Kualitas data yang tidak baik akan menimbulkan anomie (kebingungan) yang tentu akan berdampak pada kebijakan yang tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Sinkronisasi data cukup penting sebagai upaya mewujudkan visi Satu Data Indonesia sebagaimana amanat Perpres No. 39 Tahun 2019,” ujar Ahmad melalui keterangan tertulis, Jumat (9/12/2022).

Menurut Ahmad, diskrepansi data masih sering terjadi utamanya karena ego sektoral yang masih cukup tinggi antar kementerian/lembaga.

Baca juga: Wujudkan Satu Data Indonesia, Rieke Diah Pitaloka: Dimulai dari Desa dan Kelurahan

Hal ini menunjukkan bahwa Visi Satu Data Indonesia belum terimplementasi dengan baik.

Padahal, Presiden, melalui Perpres 39/2019, telah mengamanatkan agar data yang akurat, mutakhir, dan dapat dipertanggungjawabkan harus menjadi acuan dalam program pembangunan.

Ahmad juga menjelaskan sebagai perwujudan dari Visi Satu Data Indonesia, saat ini Indonesia memiliki tiga pembina data yaitu Kementerian Keuangan sebagai leader untuk urusan data keuangan, Badan Pusat Statistik (BPS) untuk kepentingan statistik, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk data spasial.

Setiap pembina data, kata Ahmad, harus menjadi acuan untuk setiap kebutuhan data yang sesuai bidangnya.

Selain itu, pembina data juga harus menetapkan struktur dan standar baku bagi data yang berkaitan dengan lintas sektor.

Baca juga: Bappenas Siapkan Portal Satu Data Indonesia untuk Benahi Tata Kelola

“Di sinilah kerja kerja sinkronisasi dapat diterapkan. Misalnya data di bidang statistik leading sector-nya ada di BPS, data di bidang keuangan adalah Kemenkeu dan data geospasial leading sektornya adalah BIG,” jelas Ahmad.

Salah satu data yang memicu perhatian publik adalah soal prevalensi perokok anak, mengingat terjadi perbedaan antara data BPS dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan.

Berdasarkan data BPS, angka perokok anak terus turun dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2021, prevalensi rokok anak tercatat 3,69 persen, lebih rendah dibandingkan 2020 dan 2019 masing-masing sebesar 3,81% dan 3,87%.

Sementara itu, data Riskesdas menyebutkan prevalensi perokok anak terus meningkat dari 7,20% pada 2013 menjadi 9,10% pada 2018.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat