androidvodic.com

Petani Tembakau Bisa Kehilangan Pekerjaan Karena RPP Kesehatan? Simak Penjelasannya! - News

News - Tembakau merupakan salah satu komoditas Indonesia yang berdampak signifikan bagi perekonomian negara. Dalam beberapa dekade terakhir, tembakau juga telah menjadi salah satu komoditas ekspor utama, memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan devisa negara.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi tembakau Indonesia mencapai ratusan ribu ton setiap tahunnya. Pada tahun 2020, produksi tembakau Indonesia mencapai angka 261.439 ton, sementara di tahun 2021 tercatat hingga 261.011 ton.

Hasil produksi tembakau ini tentunya tak terlepas dari peranan para petani di berbagai daerah. Berdasarkan provinsi, Jawa timur merupakan provinsi yang paling banyak memproduksi tembakau, yakni sebanyak 136.069 ton pada 2020, disusul oleh Jawa Tengah dengan produksi sebesar 55.549 ton, dan Nusa tenggara Barat sebesar 52.655 ton.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2022 Indonesia memproduksi tembakau sebanyak 225,7 ribu ton. Jumlah ini turun 8 persen dibanding tahun sebelumnya.

Di tahun yang sama, sekitar 99,6 persen produksi tembakau nasional berasal dari perkebunan rakyat, yakni perkebunan yang dikelola masyarakat dengan skala usaha kecil atau usaha rumah tangga.

Ini menunjukkan bahwa produksi tembakau di Indonesia didominasi oleh para petani tembakau. Terdata lebih dari 2 juta petani tembakau yang mengandalkan pertanian tembakau sebagai sumber utama mata pencaharian mereka.

Selain memberikan mata pencaharian bagi petani, industri hasil tembakau juga turut berkontribusi dalam penciptaan lapangan pekerjaan di berbagai daerah dan pertumbuhan ekonomi lokal. Saat ini, tembakau untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi juga diekspor ke berbagai negara, membuka peluang lebih banyak lagi bagi pertumbuhan industri ini.

Baca juga: Lindungi Petani Tembakau, Kementan Kaji Pasal Tembakau di RPP Kesehatan

RPP Kesehatan dan Nasib Petani Tembakau

Meski terbukti memiliki kontribusi yang begitu besar bagi penghidupan masyarakat, kini nasib para petani tembakau serta pekerja di sektor terkait tengah terancam. Mengapa? Permasalahan ini muncul akibat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan yang tengah dibahas oleh pemerintah.

Aturan ini merupakan turunan dari Omnibus Law Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Namun, beberapa hal yang diatur dalam RPP Kesehatan memiliki wacana yang dapat memengaruhi nasib petani dengan adanya usulan pasal pengendalian zat adiktif berupa produk tembakau di RPP Kesehatan yang berbentuk pelarangan total terhadap kegiatan-kegiatan yang akan berdampak pada keseluruhan rantai pasok tembakau di Indonesia.

Adapun hal-hal yang diatur dalam RPP Kesehatan tersebut meliputi larangan bagi produk tembakau terhadap hal-hal berikut: jumlah batang dalam satu kemasan, bahan tambahan, iklan produk tembakau, sponsorship berbagai acara termasuk seni budaya dan musik, penjualan secara online, pembatasan pada iklan di media, pemajangan dan materi promosi tempat penjualan, hingga perbesaran gambar peringatan kesehatan menjadi 90 persen.

Lantas, apa kaitan antara larangan-larangan tersebut dengan petani tembakau? Menurut data Kementerian Perindustrian per tahun 2019, Industri Hasil Tembakau mampu menyerap 5,98 juta tenaga kerja, yang tak hanya meliputi petani tembakau, namun juga petani cengkih dan pekerja di sektor perkebunan, serta pekerja di sektor-sektor terkait lainnya, seperti pedagang dan pengecer.

Pembatasan serta pelarangan yang diatur dalam RPP tersebut akan memengaruhi pemasaran dan distribusi produk-produk hasil tembakau, yang juga berimbas pada produksi produk turunan serta komoditas tembakau itu sendiri. Inilah mengapa petani tembakau menjadi salah satu pihak yang terdampak nasibnya jika RPP Kesehatan disahkan.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Provinsi Nusa Tenggara Barat Sahminudin, dalam keterangan yang diterima Tribunnews pada 18 November lalu, mengatakan bahwa kelompok petani siap melakukan aksi penolakan terhadap aturan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.

Menurutnya, RPP Kesehatan sangat merugikan mata pencaharian para petani tembakau di daerah.

“RPP Kesehatan hanya melihat masalah tembakau dan produk turunannya sebagai masalah kesehatan semata, dan tidak memandang dampaknya dari sudut pandang ekonomi, perdagangan dan sosial,” katanya.

Lebih lanjut, ia memandang bahwa proses pembahasan RPP Kesehatan mengesampingkan dampak bagi tenaga kerja yang ada dalam ekosistem pertembakauan.

"Apabila Pemerintah tetap melanjutkan RPP Kesehatan, sekitar 2,3 juta petani tembakau akan kehilangan sumber penghidupan yang layak. Diversifikasi atau pengalihan tanaman tembakau, akan memicu peningkatan impor tembakau yang akan melemahkan daya saing pertanian tembakau rakyat," jelas dia.

Sementara itu, perwakilan APTI Jawa Tengah Nurtantio Wisnu Brata juga menyesalkan proses terburu-burunya pemerintah membahas RPP Kesehatan. Menurutnya, pemerintah bisa lebih bijaksana memandang urusan pertembakauan, dengan mengkaji ulang atau mengeluarkan pasal-pasal tembakau dari RPP Kesehatan.

"Kalau RPP ini disahkan menjadi PP, maka akan membawa dampak besar pada ekonomi petani tembakau. Kalau begini, maka pemerintah akan berhadapan dengan petani tembakau," pungkas Wisnu.

Baca juga: GAPPRI: Pasal-pasal Tembakau di RPP Kesehatan Mengancam Keberlangsungan IHT

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat