androidvodic.com

Akademisi Sebut Terjadi Banyak Pengabaian Aspirasi Publik di Era Presiden Jokowi - News

Laporan Wartawan News, Danang Triatmojo

News, JAKARTA - Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan terjadi pengabaian terhadap kaum intelektual, cendekiawan, dan kaum cerdik pandai, termasuk civil society serta aspirasi para buruh selama pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal ini kata dia, terpicu sejak terbentuknya Omnibus Law UU Cipta Kerja.

“Itu terjadi ketika rezim ini memproduksi UU Cipta Kerja atau yang disebut dengan Omnibus Law,” kata Ubedilah dalam ‘Temu Ilmiah Universitas Memanggil’ di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat pada Kamis (14/3/2024).

Ia menyebut sudah ratusan ribu mahasiswa maupun buruh yang telah mengingatkan pemerintah, bahwa UU Cipta Kerja seperti membangun atau menciptakan pemiskinan sistemik terhadap generasi. Korbannya pun kata dia adalah generasi Z.

“Ratusan ribu buruh bersama mahasiswa mengingatkan itu, jangan lakukan itu, bahkan sekelas Prof Emil Salim mengingatkan agar jangan disahkan undang-undang yang sangat bermasalah. Tapi tengah malam UU dengan diburu-buru, disahkan, itu pengabaian paling melecehkan kaum intelektual,” katanya.

Baca juga: Bahas Omnibus Law Hingga Perubahan Iklim, GBB Serap Masukan dari Presiden KSBSI

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan suara sejati demokrasi adalah selalu gaduh. Jika demokrasi justru tenang, maka menurutnya hal itu adalah otokratisme terselubung.

Otokratis sendiri bermakna seorang pemimpin yang menuntut orang lain untuk patuh tanpa mempedulikan pendapat atau anggapan orang lain, enggan menerima kritik dan saran, serta terlalu tergantung pada kekuasaan.

“Makanya demokrasi akan selalu gaduh, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang gaduh. Demokrasi yang tenang, menurut saya, adalah otokratisme terselubung,” kata Bivitri.

Baca juga: Pakar Soroti Omnibus Law, Capres Berniat Evaluasi

Otokratisme terselubung ini menurutnya pas dengan kondisi berbangsa dan bernegara yang belakangan terjadi. Di mana publik dilarang melawan, kemudian ada praktik mematikan lembaga penyeimbang kekuasaan seperti DPR dengan tak lagi ada check and balances.

DPR yang semestinya menjadi penyeimbang kekuasaan, justru pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah.

Bivitri kemudian mencontohkan bagaimana revisi UU KPK hanya butuh 2 pekan, kemudian konsensi bagi pemilik tambang batubara cukup 6 hari hingga revisi UU Minerba terbit, lalu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Nusantara hanya perlu 21 hari untuk aturannya diterbitkan DPR.

Selain DPR, hal ini lanjutnya juga terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurutnya, praktik ini adalah bentuk otokratik yang telah dilegalisasi di Indonesia.

“Satu DPR, kedua MK. Lihat sendiri revisi UU KPK yang dibiarkan, Perppu Cipta Kerja dan lain sebagainya. Yang ketiga, masyarakat sipil yang kritiknya dibungkam. Keempat, KPK itu sendiri yang sudah dibungkam. Itu saya potret sebagai otokratik legalism di Indonesia,” kata Bivitri.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat