androidvodic.com

Komnas Perempuan Sebut UU KIA Meneguhkan Peran Domestik Perempuan, Rentan Tak Diterapkan - News

Laporan Wartawan News, Rina Ayu

News,JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan, sejauh ini mengapresiasi niatan pemerintah yang mewujudkan kesejahteraan ibu dan anak (KIA) dalam Undang-undang atau UU KIA.

Namun, pihaknya memiliki catatan yang perlu jadi sorotan pemerintah terkait UU KIA.

“UU ini riskan tidak memiliki daya implementasi,” ungkap ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani kepada News, Sabtu (8/8/2024).

Tentu hal ini memiliki alasan. Dari pengamatan Komnas Perempuan ada sejumlah Undang-Undang dan kebijakan pemerintah mengenai kesejahteraan ibu dan anak yang dinyatakan tetap berlaku meski telah ada UU KIA.

Baca juga: Menurut UU KIA Tak Semua Ibu Melahirkan Dapat Cuti 6 Bulan, Kecuali Penuhi Syarat Ini

Ego sektoral yang sering kali diajukan sebagai hambatan dalam koordinasi, dan kesulitan untuk pengawasan pelaksanaan kewajiban individual ibu dan ayah. 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi undang-undang (UU), Selasa (4/6) lalu. Di dalam UU ini ibu pekerja berhak memperoleh cuti melahirkan paling singkat 3 bulan. 
Namun, dalam kondisi khusus, ibu pekerja berhak mengambil cuti paling lama 6 bulan. Pada aturan serupa, seorang suami atau keluarga wajib mendampingi istri yang melahirkan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi undang-undang (UU), Selasa (4/6) lalu. Di dalam UU ini ibu pekerja berhak memperoleh cuti melahirkan paling singkat 3 bulan. Namun, dalam kondisi khusus, ibu pekerja berhak mengambil cuti paling lama 6 bulan. Pada aturan serupa, seorang suami atau keluarga wajib mendampingi istri yang melahirkan. (News/Akbar Permana)
Kemudian, ada persoalan struktural yang menyebabkan kewajiban individual yang diatur dalam UU itu tidak dapat dilaksanakan, misalnya dalam hal penyediaan gizi seimbang di dalam keluarga miskin.

“Peningkatan daya koordinasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak atau KPPPA menjadi kunci dari implementasi UU ini,” tambahnya.

1. Beban Pengasuhan Anak Masih Lebih Berat ke Perempuan

Hal lain yang menjadi perhatian Komnas Perempuan adalah kecenderungan UU KIA meneguhkan peran domestik perempuan.

Salah satunya ditunjukkan dengan perumusan mengenai hak ibu dan ayah. 

“Sementara Undang-Undang ini mendorong pelibatan lebih aktif dari pihak laki-laki, UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, dan tidak menjadi hak ayah,” ujar Komisioner Alimatul Qibtiyah. 

Komisioner Alimatul menambahkan bahwa contoh lain dari kecenderungan pembakuan peran domestik ini juga tampak pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki. 

Sebagaimana diketahui UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga 6 bulan, dari 3 bulan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. 

Sementara itu, cuti untuk suami atau ayah hanya bertambah dari 2 hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan. 

Cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan 2 hari. 

“Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA ini agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud,” ujarnya.

2. Menghambat Promosi Karier

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat